Minggu, 08 Januari 2012

Mengantar Kepergian untuk Kebahagiaan

Tiba saatnya Agus pergi untuk melanjutkan studynya yang sudah entah berapa lama terbengkalai karna ulahnya sendiri. Dia tidak menyenangi bidang yang digelutinya sekarang ini, pilihan yang dijatuhkan oleh kedua orang tuanya tanpa bisa ditampis olehnya. Ia memberitahuku akan kepastian kepulangannya. Senin merupakan hari yang tidak ingin ku lalui. Karna mulai dari itu, kebiasaanku enam bulan terakhir ini tidak akan ada lagi, lenyap semua, hanya tinggal kenangan sampai ia kembali lagi dan ku harap sekembalinya ia membuatku dan keluarganya bangga dengan ijazah yang sudah digenggamnya. Ia akan berangkat bersama abang dan beberapa orang temannya dengan alat transportasi kapal Pontianak - Semarang dengan cuaca yang kadang - kadang memburuk, tiupan angin kencang, hujan tak tentu arah, maupun gelombang yang menggulung semaunya. Semoga Allah selalu melindunginya di mana pun ia berada.

Kebiasaan yang sering ia lakukan saat bersamaku adalah yang pertama mengantarku pulang hingga depan rumah, memastikan bahwa aku selamat sampai rumah meskipun dengan dua motor karna orang tuaku belum mengetahui kami memiliki status yang lebih dari teman biasa. Kedua, tiap pertemuan kami tidak jarang saling mengecek isi data dari ponsel kami berdua, selain itu, dompet juga tidak ketinggalan untuk diperiksa dan saling memalak siapa di antara kami memiliki sedikit gulungan uang. Ketiga, pertemuan kami selalu melakukan aksi kekerasan, kekerasan dia yang selalu menyubitku hingga kadang - kadang pita suaraku tak terkendali sehingga melepaskan suara dari mulutku, aku selalu menampar dengan hangat pada pipi tembemnya yang tak rata itu, terkadang ia kesakitan tapi terkadang tidak hingga membuatku ketagihan untuk menamparnya lagi hingga ia memohon ampun kesakitan. Ada suatu ketika, kami menuju tempat makan nasi goreng langganan Agus. Sesampailah kami menyimpan motor, dalam perjalanan menuju meja tempat kami makan, aku bersendagurau dengannya yang tanpa sadar telapak tanganku mendarat di pipinya dengan ganas, lupa akan banyaknya orang disekitar dengan spontanitas mata mereka tertuju pada kami berdua. Dan aku tersadar saat setelah aku menamparnya dan ia berkata semua orang memandangi saat aku menamparnya, tak tertahan tawaku langsung pecah. Dan agus akan balas dendam padaku dengan menamparku di tempat umum juga, namun hingga kini belum ia lakukan niat buruk itu. Keempat, kami selalu berdebat dan meributkan hal yang tidak penting di mana pun kami berada, terkadang membuatku jengkel akan tetapi lebih sering membuatku tertawa. Kelima, ia selalu mengalah dengan kelakuanku yang kekanak - kanakkan. Mungkin sulit untuk menyeimbangkannya. Aku sering mendengar protesan tentang itu darinya. Ia selalu memberikan yang aku mau, selama ia masih ingin melakukannya, ia masih menyenggupinya, dan itu bukan permintaan yang aneh - aneh. Keenam, tidak hanya dari kata - kata pada pesan singkatnya yang menyayat hati saat emosi labilnya memuncak, namun saat disampingnya aku bisa juga mengeluarkan air mata karna ulahnya yang membuatku sakit, tarharu bahkan sedih. Seperti pada pelukan terakhir yang ia menyampaikan pesan - pesan manis untukku selama ia tidak bisa mengawasiku, melindungiku bahkan melihatku tertawa.
Ketujuh, aku senang melihat ia bahagia. Bahagia yang terpancar pada raut wajah yang lepas, senyum lebar yang menyunggingkan giginya yang rapi, matanya yang tak terlihat, dan suara tawa yang membuatku sangat kehilangan saat ia pergi esok. Masih ada kebiasaan lainnya, kedelpan, kesembilan dan seterusnya yang ingin membuatku terus berada di dekatnya.

Hanya kemauan yang kuat pada dirinya yang bisa mengubahnya menjadi lebih baik. Setidaknya membereskan kuliahnya di sana, hingga aku tak khawatir akan ditinggalkan olehmu lagi. Aku di sini sendirian, tidak ada yang temenin selain Agus yang slalu setia dan slalu ada saat aku butuh dia. Jika dia kecewa dengan pilihan orang tuanya dan tidak suka akan pilihan itu, selesaikan pilihan itu karena aku. Karna aku selalu mendukung pilihan apa saja yang dia pilih untuk dirinya.

Aku bangga memiliki seorang kekasih hati yang sudah bergelar sarjana. Orang yang pertama bangga adalah dirinya sendiri, dia bisa melawan rasa jenuh, ketidaktahuan, kebodohan, kemalasan maupun yang lain - lainnya yang membuat tersendat kelulusannya.

Ya Allah, lindungi ia di sana. berikan yang terbaik untuknya dengan jalan-Mu. Ketuklah pintu hatinya untuk kembali menghadap-Mu sebagai Yang Maha Agung. Berikan kesuksesan dan yang terbaik untuknya baik itu untuk sekarang maupun nanti, baik itu untuk dunia maupun akhirat.

Aku ikhlas ditinggalkan olehnya untuk beberapa bulan, hanya saja dia pulang tidak membuat kecewa, tetapi membuatku bangga. Aku talah berjanji dengannya, dan janji itu tulus dari hatiku. Apabila ia telah menggapai gelar sarjana, aku akan memberitahukan kepada kedua orang tuaku bahwa kami pacaran itu berarti kami tidak akan backstreet lagi setelah ia usai tamat kuliahnya. Aku sangat mengharapkan kejadian itu terjadi padaku. Semoga Allah mengabulkan keinginanku.

Berkorban sedikit, memetik kebahagia tak terhingga. Semangat, sayangku. Aku selalu di sini menuggu kesuksesanmu. I LOVE YOU FOREVER, DEAR.